Tidak dapat disangkal jika Surabaya merupakan pusat perdagangan tersibuk di Jawa Timur. Sebagai kota yang sarat dengan hiruk pikuk kegiatan, tentu dibutuhkan suatu ruang yang dapat memberi hiburan menyenangkan untuk menghilangkan rasa penat setelah seharian berkutat dalam urusan pekerjaan. Keberadaan Schouwburg atau gedung teater menjawab kebutuhan tadi. Tulisan Lost Indische kali ini akan menggali sejarah dari Schouwburg Surabaya yang jejaknya sudah lama hilang ditelan bumi.
Bagian dalam Schouwburg Surabaya pertama. Mengingat kondisi bangunan sudah cukup tua, maka langit-langitnya disangga dengan tonggak-tonggak kayu (Sumber : Von Faber, Oud Soerabaia, hlm. 334) |
Ketertarikan
terhadap dunia kesenian gaya Eropa sudah muncul di Surabaya pada abad ke-19. Minat
tersebut paling banyak ditemukan pada kalangan masyarakat Indo (campuran Eropa
dan lokal). Pendidikan seni saat itu belum mendapat tempat di sekolah formal. Oleh
karena itu, mereka mengasah kemampuannya dengan belajar dari keluarga atau
kenalan mereka. Anak laki-laki biasanya belajar bermain biola. Sementara anak
perempuan belajar memainkan piano. Perlahan, terbentuklah orkes-orkes yang dibentuk
baik oleh musisi amatir atau professional. Orkes ini tentu membutuhkan ruang
pertunjukan sehingga muncullah Schouwburg atau gedung-gedung pertunjukan seni
di Surabaya. Von Faber dalam Oud Soerabaia (1933) setidaknya mencatat ada tiga
bangunan Schouwburg yang pernah beroperasi di Surabaya. Schouwburg pertama
tercatat berada di Werfstraat (kini jalan Kasuari). Sayangnya Von Faber tidak dapat
merinci sejak kapan Schouburg tersebut ada. Saat Von Faben membuat tulisannya,
Schouwburg tersebut telah lama ditutup dan bangunannya dilebur dengan penjara
Kalisosok menjadi bengkel penjara. Selanjutnya Schouwburg kedua berada di sudut
Bubutan dan Ouden Komedieweg. Di Schouwburg tersebut, pertunjukan opera digelar
untuk pertama kalinya di Surabaya oleh rombongan kesenian Le Moringe dari
Perancis. Saat ditulis oleh Von Faber, gedung Schouwburg kedua tersebut
ditempati oleh Indonesische Studieclub.
Letak Schouwburg ketiga pada peta Surabaya tahun 1866 (ditandai dalam kotak merah). |
Tampak luar Schouwburg Surabaya ketiga. (sumber foto : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/) |
Schouwburg
ketiga yang Lokasinya saat ini menjadi kantor PTPN XI adalah Schowuburg paling dikenal
di Surabaya. Rencana pendirian schouwburg tersebut sudah dicetuskan sejak tahun
1850. Untuk mewujudkan rencana tersebut, maka dihimpunlah modal dalam bentuk
saham yang selembarnya berharga 100 gulden. Dalam waktu singkat, modal sejumlah
20.000 gulden berhasil dikumpulkan. Pada 10 Juli 1850, diadakan pertemuan yang
membahas perihal rencana pembangunan Schouwburg baru. Tanah lapang di belakang
garnisun Djotangan dipilihkan sebagai lokasi Schouwburg baru tersebut. Tanah
itu lalu dihibahkan dari pemerintah ke panitia pembangunan pada 11 Oktober
1852. Insinyur Brox ditunjuk sebagai arsiteknya. Sialnya, ketika pembangunan
sudah berjalan, panitia menyadari jika biaya pembangunannya ternyata lebih
tinggi daripada perkiraan semula. Panitia menjadi kelimpungan untuk menutupi
kekurangan uang. Upaya pertamanya adalah dengan mengajukan pinjaman bebas bunga
kepada pemerintah yang kemudian ditolak oleh pemerintah. Penduduk kota juga
tidak ingin menyumbang lagi karena merasa telah dipermainkan. Sesudah melalui
banyak negosiasi, akhirnya pemerintah sepakat untuk membagi hasil keuntungan
lontre sebesar 4000 gulden dan sejumlah pinjaman hipotek sebesar 27.000 gulden.
Bangunan Schouwburg itu akhirnya selesai dibangun pada tahun 1854 dengan total
biaya sebesar 55.000 gulden, jauh lebih besar dari taksiran awal yang hanya
sebesar 20.000 gulden.
Deretan bangku di ruang pertunjukan. Di sebelah kanan pintu masuk, terdapat patung G.F.A. Galatti |
Pada
masa awal pembukaan Schouwburg, belum banyak pentas yang dapat ditampilkan. Namun
di kemudian hari, Schouwburg penuh dengan jadwal pentas hampir setiap malam
dalam seminggu. Orkes mengeluh jika tidak ada lagi waktu yang tersisa untuk
latihan karena padatnya jadwal pentas di sana. Masyarakat begitu antusias
menyaksikan tontonan di Schouwburg tersebut. Jika sedang ada pentas, penghuni di
sekitarnya akan menempatkan kursi atau bangku di halaman depan teater hanya
untuk menikmati music secara gratis. Penduduk pribumi juga berbondong-bondong
mendatangi schouwburg meskipun mereka hanya dapat menikmatinya dari halaman
depan. Pihak Schouwburg merasa terganggu akan hal ini sehingga dibuat pagar pembatas
di sekitar Schouwburg. Menurut seorang pengunjung orang Inggris bernama Bickmore,
Schouwburg adalah “sebuah bangunan besar yang proporsional dan di dalamnya
dihasi dengan lukisan dinding yang bagus”. Sementara Prof. Veth menyebutnya sebuah
bangunna “di mana kini dan nanti, pertunjukan dan konser mewah akan ditampilkan
meski ketenarannya sebagai kuil Melpomene atau Thalia (dewi pertunjukan tragedi
dan komedi) belum banyak didengar dunia”. Sementara itu, pentas teaternya
sendiri mendapat sejumlah kritikan. Para pelakon berbicara dalam bahasa Belanda
yang buruk, tata panggungnya tidak menarik, dan tata cahayanya sangat buruk. Saat
itu, penerangan panggung masih menggunakan lilin atau lampu minyak tanah dan
baru diganti dengan gas dan listrik bertahun-tahun kemudian.
Patung G.F.A. Galatti, konduktor orkes musik St. Caecilia dari tahun 1869 hingga 1895. Patung ini dipajang di ruang pertunjukan sebelum dipindah. (Sumber : Von Faber, Oud Soerabaia, hlm. 334) |
Sepanjang
berdirinya, Schouwburg menjadi saksi dinamika kesenian Eropa di Surabaya. Ada
begitu banyak orkes amatir yang didirikan di Surabaya. Setiap golongan
masyarakat Eropa di Surabaya – yang terdiri dari Belanda, Inggris, Jerman –
memiliki orkesnya sendiri. Satu persatu orkes bubar karena berbagai alasan
seperti anggota yang pindah ke kota lain, pertengkaran sesama anggota orkes,
dan kehabisan biaya operasional. Dari sekian banyak orkes, salah satu yang paling
dikenal namanya adalah orkes musik St. Caecilia yang telah mendominasi
kehidupan music di Surabaya selama lebih dari 50 tahun. Orkes tersebut dibentuk
pada 28 Februari 1848 dan mencapai kejayaanya sesudah tahun 1869, tahun dimana Galati
bergabung sebagai konduktor untuk orkes St. Caecilia. Ia lahir 11 Maret 1847 di
Somma dekat Milan, Italia. Awalnya adalah seorang pianis rombongan opera Italia,
Cagli, yang datang ke Jawa. Pada tangga 31 Januari 1895, Galati sedang memimpin
orkes yang saat itu memainkan komposisinya berjudul “Lombok Onderworpen” (Kejatuhan
Lombok). Tanpa diketahui sebabnya, Galati tiba-tiba jatuh tersungkur di tengah
pentas dan meninggal keesokan harinya. Sebagai peringatan akan sosok Galati,
maka patung setengah badan Galati dipajang di aula Schouwburg pada 2 Februari
1908. Patung itu dipindahkan ke Kunstkringgebouw di Embong Malang pada tahun
1923.
Kafetaria Schouwburg. Kafetaria ini dibuka tahun 1877 untuk menambah pemasukan Schouwburg. |
Memasuki
tahun 1870an, Schouwburg Surabaya mulai mengalami fase sulit karena adanya masalah
perseteruan perihal pengelolaanya. Beberapa langkah perbaikan akhirnya ditempuh
untuk menyelamatkannya. Salah satunya adalah membagi kursi penonton menjadi 4
kelas dari yang semula hanya ada 2 kelas saja. Selain itu juga dibuka ruang kafe
di dalam schouwburg yang dapat disewakan untuk pihak luar. Namun sesudah itu,
tidak ada perbaikan besar-besaran terhadap gedung schouwburg. Perlahan kualitas
gedung mulai menurun dan bahkan dinilai tidak memenuhi persyaratan paling
sederhana sebagai tempat pertunjukan. Suatu
hari pada tahun 1923, penduduk Surabaya menyaksikan dibongkarnya gedung
Schouwburg yang telah menjadi bagian dari kota Surabaya selama lebih dari
setengah abad. Tanah tempat Schouwburg itu berdiri telah dibeli oleh
konglomerasi Handelsvereenging Amsterdam pada tahun 1919 dan di tempat yang
sama akan didirikan kantor baru HVA yang sangat megah. Akhirnya lenyap sudah
pusat kehidupan seni di Surabaya pada abad ke-19.
Sumber :
Faber, Von G. H. 1933. Oud Soerabaia, De Geschiedenis Van Indie’s Earste Koopstad Van de Oudste Tijden Tot de Intelling Van Den Gemeentateraad. Surabaya: N.V. Kon. Boekhandel en Drukkerijen G. Kolff & Co
No comments:
Post a Comment