Sunday, August 15, 2021

Societeit Harmonie Semarang

Malam itu, kalender menujukan tanggal 22 Mei 1909. Suasana cukup meriah tampak di sebuah bangunan yang baru saja selesai dibangun di Bodjongsche, Semarang. Di halamannya yang luas, terlihat para pria kulit putih berpakian necis, didampingi oleh istri mereka yang sudah merias wajahnya begitu cantik untuk acara istimewa itu. Mereka ini tak lain adalah tamu undangan dari hajatan peresmian gedung baru Societeit Harmonie, sebuah tempat perkumpulan kaum borjuis di Semarang. Para hadirin ini mungkin tak akan mengira jika tempat tersebut tidak kurang dari hitungan seabad akan hilang ditelan bumi, menjelma menjadi gedung mall raksaksa bernama Mall Paragon. Lost Indische kali ini akan menceritakan kisah tentang gedung Societeit Harmonie Semarang.

Societeit Amicitia, pendahulu dari Societeit Harmonie. (Sumber : rijsksmuseum.nl)

Istilah Societeit atau masyarakat awam zaman dahulu menyebutnya sebagai soos tidak hanya merujuk pada suatu tempat hiburan yang terdapat di setiap tempat di Hindia-Belanda. Istilah Societeit merujuk pada suatu perkumpulan berisikan kaum borjuis kulit putih. Pembentukan societeit pertama kali diprakarsai oleh Daendels sebagai ikhtiar untuk mengurangi pengaruh perkumpulan rahasia seperti Freemason yang sukar diawasi pemerintah. Sebagai Soceiteit pertama adalah Societeit Harmonie di Batavia yang dibuka pada tahun 1814. Pembentukan Societeit kemudian menyebar di segala penjuru Hindia-Belanda dan segera menjadi pusat segala kegiatan gemerlap golongan elit hingga akhir masa penjajahan (Lombard, 2018 : 97). Salah satu tempat yang dahulu pernah memiliki Societeit adalah Semarang yang awalnya berlokasi di kawasan Kota Lama, tepatnya di gedung Bank Mandiri cabang Tantular. Sebelum menjadi societeit, tempat tersebut dulunya adalah kantor pemerintahan. Pada tahun 1854, api melalap habis bangunan tersebut dan di lahannya itu akhirnya dibangun gedung untuk perkumpulan Societeit Amicitia. Perkumpulan Societeit Amicita dibubarkan tahun 1896 dan berganti menjadi Societeit Harmonie pada 22 Mei 1896.

Societeit "Harmonie" pada peta kota Semarang tahun 1909.(sumber : maps.library.leiden.edu)

Sekitar tahun 1906, pengurus Societeit Harmonie memutuskan untuk memindahkan gedung societeit ke tempat lain. Alasannya belum diketahui namun boleh jadi karena gedung Societeit lama dirasa sudah kecil sementara jumlah anggota Soceiteit terus bertambah. Pengurus Societeit akhirnya menemukan sebidang lahan di kampung Sayidan. Tanah tersebut memiliki luas sekitar 11060 m persegi. Kemudian datanglah Nyonya Mentel yang menawarkan tanah tempat tinggalnya kepada pengurus Societeit untuk dijadikan sebagai lokasi societeit baru (De Locomotief, 25 Oktober 1906). Entah bagaimana ceritanya, pengurus Societeit Harmonie akhirnya menanggalkan pilihan awal di Sayidan itu dan memilih tanah milik Nyonya Mentel sebagai lokasi Societeit baru. Setelah memperoleh lokasi baru, gedung societeit lama dibongkar. Material sisa bongkaran dibeli seharga 10790 gulden oleh orang Tionghoa bernama Liem Tjang Tay (Soerabaiasch handelsblad, 18 Juli 1907). Lahan societeit lama kemudian dibangunkan gedung kantor Nederlandsch Handel Maatschappij yang masih berdiri sampai sekarang. Sementara itu, rumah nyonya Mentel di Bojong diruntuhkan setelah dilelang dengan harga 2300 gulden. Di atas runtuhan rumah itulah kemudian dibangun gedung societeit baru. Untuk rancangan gedungnya, panitia menggelar sayembara yang diikuti oleh 5 peserta dan kemudian dimenangkan oleh arsitek bernama Hildering (De Locomotief, 1 Oktober 1907)


Rancangan gedung Societeit Harmonie karya Hildering. (sumber : Indische Bouwkundig Tijdschrift No. 1 Tahun 1908)

Pembukaan Societeit Harmoni diselenggarakan dalam suatu pesta meriah yang digelar pada malam tanggal 22 Mei 1909, bertepatan dengan hari jadi Societeit tersebut ke-8. Untuk hajatan itu, panitia menyediakan lebih dari 200 porsi makanan dan 80 pelayan untuk menjamu 250 tamu. Pesta tersebut dibuka oleh ketua Societeit Harmonie saat itu, J.v. Rijn van Alkemade. Jalannya pesta boleh dibilang sedikit kacau karena ada orang iseng yang menukar kartu nama pada meja yang disediakan sehingga urutan meja yang sudah ditata panitia menjadi tidak teratur. Meskipun demikian, acara pembukaan tersebut berlangsung dengan lancar (Het Nieuws van den dag voor N.I. 27 Mei 1909). Selama beberapa tahun hingga pendudukan Jepang, Societeit Harmonie menjadi jantung kehidupan sosial orang Eropa di Semarang. Di saat jenis hiburan masih terbatas, hal yang bisa dilakukan untuk membuang rasa penat setelah seharian bekerja adalah bercengkerama dengan teman di Societeit. Hal ini penting terutama bagi mereka yang baru tiba dari Belanda karena mereka akan menjumpai suatu lingkungan dan masyarakat yang begitu asing untuk mereka. Hal ini akhirnya menimbulkan perasaan homesick atau rindu dengan kampung halaman. Untuk mengobati perasaan tersebut, akhirnya mereka bertemu antar sesama orang Eropa di Societeit dan dari sana akhirnya terbina suatu hubungan yang harmonis. Inilah alasan mengapa banyak Soceteit memakai nama Harmonie karena selain Semarang, di tempat lain societeitnya juga menggunakan nama yang sama seperti di Batavia, Surakarta, Banyumas, dan lainnya. Hiruk pikuk keceriaan Societeit akan terasa saat malam hari dengan gemerlap lampu gasnya – yang kemudian diganti dengan listrik. Untuk menambah pemasukan, maka gedung Societeit Harmonie disewakan kepada pihak luar yang membutuhkan ruang untuk acara tertentu seperti ulang tahun perusahaan, pesta pernikahan, dan lainnya. Secara tidak langsung, keberadaan Soceteit akhirnya membentuk sebuah inti masyarakat Eropa yang eksklusif dan semakin mengukuhkan segrerasi sosial yang terjadi pada masa kolonial

Denah gedung Societeit. (sumber : Indische Bouwkundig Tijdschrift No. 1 Tahun 1908)
Tapak halaman Societeit. (sumber : Indische Bouwkundig Tijdschrift No. 1 Tahun 1908)

Gedung Societeit Harmonie di Bojong memiliki denah berbentuk seperti huruf L, dimana pintu masuknya berada di sudut bangunan menghadap ke arah Jalan Bojong. Pada bagian fasad bangunan, terdapat menara kecil yang di dalamnya terdapat tandon air untuk keperluan Societeit. Melangkah masuk ke dalam, pengunjung akan memasuki bagian vestibule atau ruang penerimaan. Jika berbelok ke kiri akan mendapati ruang permainan bilyard. Ruang bilyar tersebut terhubung dengan beranda luar dan sejumlah ruang lain seperti ruang baca, ruang prasmanan, dan toilet. Sementara itu, jika dari vestibule kemudian belok ke kanan, akan didapati aula besar serbaguna yang dapat digunakan untuk pesta dansa, perjamuan, atau rapat pertemuan besar. Di ujungnya, terdapat panggung untuk pentas. Di halaman Soceteit juga terdapat gazebo kecil untuk tempat pemain musik jika ada acara luar ruangan.

Iklan pentas musik oleh korps musik batalyon Infatrie ke-5 di Societeit Harmonie Semarang. Acara tersebut digelar sehari sesudah pembukaan gedung Societeit Harmonie. (Sumber : De Locomotief, 22 Mei 1909)

Kegiatan perkumpulan Societeit Harmonie lumpuh saat zaman Jepang. Anggotanya yang seluruhnya adalah orang Eropa ditawan Jepang. Sementara itu, gedung Societeit digunakan sebagai kantor Palang Merah. Setelah tahun 1949, sejumlah upaya ditempuh untuk memulihkan kembali perkumpulan itu mengingat banyak anggota perkumpulan yang meninggal selama ditawan Jepang atau pergi meninggalkan Semarang dan tak kembali lagi. Salah satu upayanya adalah meleburkan perkumpulan Societeit Tjandi ke dalam Societeit Harmonie. Gedung Societeit Harmonie di Bojong saat itu masih ditempati oleh Palang Merah sehingga Societeit Harmonie memindahkan kegiatannya ke sebuah rumah tua yang berada di perbukitan Candi (De Locomotief, 24 Februari 1949). Meskipun tidak sejaya dulu, Societeit Harmonie setidaknya masih menggelar sejumlah kegiatan dan hal itu masih berlangsung hingga tahun 1960an, saat para ekspatriat Belanda diusir dari Indonesia karena adanya masalah Irian Barat (Algemeen Handelsblad 30 November 1957). Societeit Harmonie akhirnya tinggal nama belaka. Sementara itu, gedungnya yang ada di Bojong sempat mengalami beberapa kali pergantian fungsi, yakni sebagai Gedung Rakjat Indonesia Semarang (GRIS) dan pemancar RRI. Bangunan Societeit Harmonie di Bojong itu akhirnya hilang tak berbekas dan kini menjelma sebagai mall Paragon.


Sumber :

Lombard, Denys. 2018. Nusa Jawa Silang Budaya 1 : Batas-batas Pembaratan. Jakarta : Penerbit Gramedia

De Locomotief, 25 Oktober 1906

Soerabaiasch handelsblad, 18 Juli 1907

De Locomotief, 1 Oktober 1907

Het Nieuws van den dag voor N.I. 27 Mei 1909

De Locomotief, 24 Februari 1949

Algemeen Handelsblad 30 November 1957

Indische Bouwkundig Tijdschrift No. 1 Tahun 1908

Friday, August 6, 2021

Schouwburg Surabaya

Tidak dapat disangkal jika Surabaya merupakan pusat perdagangan tersibuk di Jawa Timur. Sebagai kota yang sarat dengan hiruk pikuk kegiatan, tentu dibutuhkan suatu ruang yang dapat memberi hiburan menyenangkan untuk menghilangkan rasa penat setelah seharian berkutat dalam urusan pekerjaan. Keberadaan Schouwburg atau gedung teater menjawab kebutuhan tadi. Tulisan Lost Indische kali ini akan menggali sejarah dari Schouwburg Surabaya yang jejaknya sudah lama hilang ditelan bumi.

Tampak bangunan Schouwburg Surayaba pertama dengan ventilasi berbentuk palang yang bagian pintu dan jendelanya sudah ditembok. Saat foto diambil, bangunan tersebut telah menjadi bagian dari penjara Kalisosok (Sumber : Von Faber, Oud Soerabaia, hlm. 333)
Bagian dalam Schouwburg Surabaya pertama. Mengingat kondisi bangunan sudah cukup tua, maka langit-langitnya disangga dengan tonggak-tonggak kayu (Sumber : Von Faber, Oud Soerabaia, hlm. 334)

Ketertarikan terhadap dunia kesenian gaya Eropa sudah muncul di Surabaya pada abad ke-19. Minat tersebut paling banyak ditemukan pada kalangan masyarakat Indo (campuran Eropa dan lokal). Pendidikan seni saat itu belum mendapat tempat di sekolah formal. Oleh karena itu, mereka mengasah kemampuannya dengan belajar dari keluarga atau kenalan mereka. Anak laki-laki biasanya belajar bermain biola. Sementara anak perempuan belajar memainkan piano. Perlahan, terbentuklah orkes-orkes yang dibentuk baik oleh musisi amatir atau professional. Orkes ini tentu membutuhkan ruang pertunjukan sehingga muncullah Schouwburg atau gedung-gedung pertunjukan seni di Surabaya. Von Faber dalam Oud Soerabaia (1933) setidaknya mencatat ada tiga bangunan Schouwburg yang pernah beroperasi di Surabaya. Schouwburg pertama tercatat berada di Werfstraat (kini jalan Kasuari). Sayangnya Von Faber tidak dapat merinci sejak kapan Schouburg tersebut ada. Saat Von Faben membuat tulisannya, Schouwburg tersebut telah lama ditutup dan bangunannya dilebur dengan penjara Kalisosok menjadi bengkel penjara. Selanjutnya Schouwburg kedua berada di sudut Bubutan dan Ouden Komedieweg. Di Schouwburg tersebut, pertunjukan opera digelar untuk pertama kalinya di Surabaya oleh rombongan kesenian Le Moringe dari Perancis. Saat ditulis oleh Von Faber, gedung Schouwburg kedua tersebut ditempati oleh Indonesische Studieclub.

Letak Schouwburg ketiga pada peta Surabaya tahun 1866 (ditandai dalam kotak merah).

Tampak luar Schouwburg Surabaya ketiga. (sumber foto : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Schouwburg ketiga yang Lokasinya saat ini menjadi kantor PTPN XI adalah Schowuburg paling dikenal di Surabaya. Rencana pendirian schouwburg tersebut sudah dicetuskan sejak tahun 1850. Untuk mewujudkan rencana tersebut, maka dihimpunlah modal dalam bentuk saham yang selembarnya berharga 100 gulden. Dalam waktu singkat, modal sejumlah 20.000 gulden berhasil dikumpulkan. Pada 10 Juli 1850, diadakan pertemuan yang membahas perihal rencana pembangunan Schouwburg baru. Tanah lapang di belakang garnisun Djotangan dipilihkan sebagai lokasi Schouwburg baru tersebut. Tanah itu lalu dihibahkan dari pemerintah ke panitia pembangunan pada 11 Oktober 1852. Insinyur Brox ditunjuk sebagai arsiteknya. Sialnya, ketika pembangunan sudah berjalan, panitia menyadari jika biaya pembangunannya ternyata lebih tinggi daripada perkiraan semula. Panitia menjadi kelimpungan untuk menutupi kekurangan uang. Upaya pertamanya adalah dengan mengajukan pinjaman bebas bunga kepada pemerintah yang kemudian ditolak oleh pemerintah. Penduduk kota juga tidak ingin menyumbang lagi karena merasa telah dipermainkan. Sesudah melalui banyak negosiasi, akhirnya pemerintah sepakat untuk membagi hasil keuntungan lontre sebesar 4000 gulden dan sejumlah pinjaman hipotek sebesar 27.000 gulden. Bangunan Schouwburg itu akhirnya selesai dibangun pada tahun 1854 dengan total biaya sebesar 55.000 gulden, jauh lebih besar dari taksiran awal yang hanya sebesar 20.000 gulden.

Deretan bangku di ruang pertunjukan. Di sebelah kanan pintu masuk, terdapat patung G.F.A. Galatti

Pada masa awal pembukaan Schouwburg, belum banyak pentas yang dapat ditampilkan. Namun di kemudian hari, Schouwburg penuh dengan jadwal pentas hampir setiap malam dalam seminggu. Orkes mengeluh jika tidak ada lagi waktu yang tersisa untuk latihan karena padatnya jadwal pentas di sana. Masyarakat begitu antusias menyaksikan tontonan di Schouwburg tersebut. Jika sedang ada pentas, penghuni di sekitarnya akan menempatkan kursi atau bangku di halaman depan teater hanya untuk menikmati music secara gratis. Penduduk pribumi juga berbondong-bondong mendatangi schouwburg meskipun mereka hanya dapat menikmatinya dari halaman depan. Pihak Schouwburg merasa terganggu akan hal ini sehingga dibuat pagar pembatas di sekitar Schouwburg. Menurut seorang pengunjung orang Inggris bernama Bickmore, Schouwburg adalah “sebuah bangunan besar yang proporsional dan di dalamnya dihasi dengan lukisan dinding yang bagus”. Sementara Prof. Veth menyebutnya sebuah bangunna “di mana kini dan nanti, pertunjukan dan konser mewah akan ditampilkan meski ketenarannya sebagai kuil Melpomene atau Thalia (dewi pertunjukan tragedi dan komedi) belum banyak didengar dunia”. Sementara itu, pentas teaternya sendiri mendapat sejumlah kritikan. Para pelakon berbicara dalam bahasa Belanda yang buruk, tata panggungnya tidak menarik, dan tata cahayanya sangat buruk. Saat itu, penerangan panggung masih menggunakan lilin atau lampu minyak tanah dan baru diganti dengan gas dan listrik bertahun-tahun kemudian.

Patung G.F.A. Galatti, konduktor orkes musik St. Caecilia dari tahun 1869 hingga 1895. Patung ini dipajang di ruang pertunjukan sebelum dipindah. (Sumber : Von Faber, Oud Soerabaia, hlm. 334)

Sepanjang berdirinya, Schouwburg menjadi saksi dinamika kesenian Eropa di Surabaya. Ada begitu banyak orkes amatir yang didirikan di Surabaya. Setiap golongan masyarakat Eropa di Surabaya – yang terdiri dari Belanda, Inggris, Jerman – memiliki orkesnya sendiri. Satu persatu orkes bubar karena berbagai alasan seperti anggota yang pindah ke kota lain, pertengkaran sesama anggota orkes, dan kehabisan biaya operasional. Dari sekian banyak orkes, salah satu yang paling dikenal namanya adalah orkes musik St. Caecilia yang telah mendominasi kehidupan music di Surabaya selama lebih dari 50 tahun. Orkes tersebut dibentuk pada 28 Februari 1848 dan mencapai kejayaanya sesudah tahun 1869, tahun dimana Galati bergabung sebagai konduktor untuk orkes St. Caecilia. Ia lahir 11 Maret 1847 di Somma dekat Milan, Italia. Awalnya adalah seorang pianis rombongan opera Italia, Cagli, yang datang ke Jawa. Pada tangga 31 Januari 1895, Galati sedang memimpin orkes yang saat itu memainkan komposisinya berjudul “Lombok Onderworpen” (Kejatuhan Lombok). Tanpa diketahui sebabnya, Galati tiba-tiba jatuh tersungkur di tengah pentas dan meninggal keesokan harinya. Sebagai peringatan akan sosok Galati, maka patung setengah badan Galati dipajang di aula Schouwburg pada 2 Februari 1908. Patung itu dipindahkan ke Kunstkringgebouw di Embong Malang pada tahun 1923.

Kafetaria Schouwburg. Kafetaria ini dibuka tahun 1877 untuk menambah pemasukan Schouwburg.

Memasuki tahun 1870an, Schouwburg Surabaya mulai mengalami fase sulit karena adanya masalah perseteruan perihal pengelolaanya. Beberapa langkah perbaikan akhirnya ditempuh untuk menyelamatkannya. Salah satunya adalah membagi kursi penonton menjadi 4 kelas dari yang semula hanya ada 2 kelas saja. Selain itu juga dibuka ruang kafe di dalam schouwburg yang dapat disewakan untuk pihak luar. Namun sesudah itu, tidak ada perbaikan besar-besaran terhadap gedung schouwburg. Perlahan kualitas gedung mulai menurun dan bahkan dinilai tidak memenuhi persyaratan paling sederhana sebagai tempat pertunjukan. Suatu hari pada tahun 1923, penduduk Surabaya menyaksikan dibongkarnya gedung Schouwburg yang telah menjadi bagian dari kota Surabaya selama lebih dari setengah abad. Tanah tempat Schouwburg itu berdiri telah dibeli oleh konglomerasi Handelsvereenging Amsterdam pada tahun 1919 dan di tempat yang sama akan didirikan kantor baru HVA yang sangat megah. Akhirnya lenyap sudah pusat kehidupan seni di Surabaya pada abad ke-19.

Sumber :

Faber, Von G. H. 1933. Oud Soerabaia, De Geschiedenis Van Indie’s Earste Koopstad Van de Oudste Tijden Tot de Intelling Van Den Gemeentateraad. Surabaya: N.V. Kon. Boekhandel en Drukkerijen G. Kolff & Co


Societeit Harmonie Semarang

Malam itu, kalender menujukan tanggal 22 Mei 1909. Suasana cukup meriah tampak di sebuah bangunan yang baru saja selesai dibangun di Bodjong...